https://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/cahayakeadilan/issue/feedJurnal Cahaya Keadilan2024-01-29T02:35:14+00:00Yudi Kornelisyudi.kornelis@puterabatam.ac.idOpen Journal Systems<p> </p> <p> <br>https://drive.google.com/file/d/1iLTdWw_kM4OjCCcL2GGR449VzZ5SoygM/view?usp=sharing</p>https://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/cahayakeadilan/article/view/8169JCK PEMANFAATAN MEDIA SOSIAL SEBAGAI KOMUNIKASI PEMASARAN BRAND ALFATEEMA DALAM PERSPEKTIF UU ITE2023-11-07T17:35:58+00:00renita kurniaunclejimhellblazer@gmail.comBahariandi Aji Prasetyoaji.bahariandi@gmail.comDewi Umadewiumaaa13@gmail.com<p>Media sosial telah mengubah cara penggunanya berkomunikasi, berinteraksi, dan<br />berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan budaya. Media sosial juga digunakan<br />untuk berbisnis bagi masyarakat Indonesia. Pemanfaatan media sosial juga<br />digunakan pebisnis dan perusahaan sebagai komunikasi pemasaran yang ditujukan<br />kepada target sasarannya. Penerapan UU ITE sangat perlu ditegakkan agar<br />pengguna media sosial tidak melakukan kesalahan yang dapat melanggar<br />peraturan yang berlaku di Indonesia pada media sosial yang mereka miliki. Brand<br />Alfeteema memanfaatkan memanfaatkan media sosialnya sebagai komunikasi<br />pemasaran dalam memasarkan produknya hingga ke Malaysia dan Brunei<br />Darussalam mengikuti aturan yang berlaku di Indonesia. Tujuan penelitian ini<br />untuk mengetahui pemanfaatan media sosial sebagai komunikasi pemasaran<br />brand Alfateema dalam perspektif UU ITE. Metode penelitian yang digunakan<br />deksriptif kualitatif dengan pengumpulan data secara observasi, wawancara, dan<br />dokumen. Brand Alfateema menggunakan media sosialnya untuk kegiatan<br />komunikasi pemasaran seperti iklan, penjualan pribadi, promosi penjualan, public<br />relations dan pemasaran langsung. Brand Alfateema melakukan komunikasi<br />pemasaran dengan memanfaatkan media sosialnya menerapkan dengan baik<br />Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi<br />Elektronik Pasal 4, Pasal 9, Pasal 17 ayat 1-3, Pasal 28 ayat 1-2, dan Pasal 29dan<br />Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang<br />Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 26 ayat 1</p>2023-10-20T00:00:00+00:00Copyright (c) 2023 https://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/cahayakeadilan/article/view/8170JCK KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DALAM PEMBANGUNAN HUKUM EKONOMI NASIONAL2023-10-31T16:38:43+00:00Ukas UkasUkas@puterabatam.ac.idLenny Husnalenihusna17@gmail.comZuhdi Armanzuhdiarman1@gmail.com<p>Trade Facilitation Agreement WTO merupakan langkah maju yang penting dalam sistem<br />perdagangan internasional dan memberikan harapan baru bagi relevansi WTO. TFA adalah<br />perjanjian multilateral pertama sejak pembentukan WTO pada tahun 1995 dan mencakup<br />inisiatif baru untuk membantu negara-negara berkembang membangun kapasitas sambil juga<br />menangani masalah peraturan di antara anggota WTO. TFA harus ditafsirkan dengan benar,<br />ini adalah kombinasi dari langkah-langkah peningkatan kapasitas, fokus pada peningkatan<br />teknologi dan persyaratan politik, termasuk kebijakan masing-masing negara, yang<br />diperlukan untuk mengelola perdagangan luar negeri. Kehadiran asam lemak trans juga<br />diduga dapat mengurangi biaya perdagangan lintas batas, sekaligus meningkatkan<br />perdagangan dengan negara berkembang dan memungkinkan anggota WTO untuk mengelola<br />arus perdagangan dengan lebih baik melalui proses harmonisasi dan regulasi politik. Artikel<br />ini mengkaji tentang teori hukum dan asas serta aturan yang berkaitan dengan hukum dagang<br />internasional dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif. Penulis menganalisis<br />permasalahan yang berkaitan dengan pengoperasian perjanjian fasilitasi perdagangan di<br />dalam WTO dan implementasinya di Indonesia.</p>2023-10-20T00:00:00+00:00Copyright (c) 2023 https://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/cahayakeadilan/article/view/8171JCK UPAYA KEJAKSAAN MEMBERIKAN KEADILAN RESTORATIF TERHADAP TINDAK PIDANA2023-10-31T16:43:44+00:00Irene Svinarkyirenesvinarkysh.mkn@gmail.compadrisan - jambapadri_themasterlaw@yahoo.com<p>Di dalam kehidupan manusia pasti ditemui kegiatan yang berkaitan dengan<br />hukum baik yang sengaja dilakukan maupun yang tidak sengaja dilakukan.<br />Apabila terjadi masalah hukum pidana, tidak semua yang diselesaikan sampai ke<br />tahapan pengadilan, karena ada upaya hukum lain yang disebut dengan<br />Restorative Justice (RJ), baik di tingkat kepolisian ataupun kejaksaan. RJ ini<br />disepakati untuk dilaksanakan, agar membantu masyarakat yang tersangkut<br />masalah pidana dapat menyelesaiakan masalahnya tanpa harus menempuh proses<br />panjang, tetapi yang perlu diingat tidak semua perkara pidana yang dapat<br />diberikan rj. Oleh sebab itu, dengan keluarnya Perja No 15/2020, maka rj untuk<br />perkara tertentu dapat membantu JPU dalam menghentikan penuntutan terhadap<br />terdakwa. Tujuannya penelitian ini adalah: Untuk mengetahui upaya yang<br />dilakukan oleh kejaksaan dalam memberikan rj terhadap tindak pidana yang<br />dilakukan oleh masyarakat bermasalah. Penelitian ini dilakukan di Kejaksaan<br />Kota Batam; Hasil penelitian yang penulis dapat bahas dalam upaya kejaksaan<br />memberikan rj adalah: Kejaksaan memberikan rj kepada masyarakat dengan<br />beberapa perkara saja yang sesuai dengan Perja Nomor 15/2020, karena tidak<br />semua perkara yang dapat diberikan rj, namun pemberian rj ini juga menelaah<br />beberapa faktor yang dapat dijadikan pertimbangan sesuai dengan aturan<br />kejaksaan yang berlaku.</p>2024-01-20T00:00:00+00:00Copyright (c) 2023 https://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/cahayakeadilan/article/view/8172JCK EKSISTENSI ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE TERKAIT TINDAKAN TRIAL BY THE PRESS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI2023-10-31T16:48:59+00:00Diki ZukriadiZukriadiki@gmail.comMoh. Andika Surya Lebangandika@puterabatam.ac.id<p>Tindakan "trial by the press" dalam sistem hukum merupakan kaedah yang<br />bertentangan. Asas presumption of innocence sebagai fundamental principle<br />menegaskan bahwa seseorang dianggap tidak bersalah hingga terbukti sebaliknya<br />oleh proses hukum yang adil dan berkeadilan yang dalam praktiknya, tindakan<br />trial by the press cenderung memengaruhi opini publik dan mengkondisikan<br />masyarakat untuk menganggap seseorang bersalah sebelum proses peradilan<br />selesai. Dampak tindakan trial by the press terhadap pelaku tindak pidana korupsi<br />dalam perspektif hukum berupaya mengevaluasi bagaimana pemberitaan media<br />massa yang tidak berimbang dapat mempengaruhi hak-hak pelaku tindak pidana<br />korupsi untuk mendapatkan proses peradilan yang adil sedangkan dari perspektif<br />sosial, penelitian ini mengkaji bagaimana stigmatisasi dan tekanan publik dapat<br />mempengaruhi kehidupan pribadi dan profesional pelaku tindak pidana korupsi,<br />bahkan sebelum terbukti bersalah. Hasil penelitian ini mempertimbangkan<br />berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh sistem hukum dan media massa untuk<br />memastikan bahwa asas presumption of innocence tetap terjaga, sementara tetap<br />menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam kasus-kasus korupsi dengan<br />menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang berimbang dan profesional dalam<br />meliput setiap kasus.</p>2023-10-20T00:00:00+00:00Copyright (c) 2023 https://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/cahayakeadilan/article/view/8174JCK INFORMED CONSENT PADA KASUS OPERASI BESAR BERDASARKAN PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA2023-10-31T17:02:55+00:00Sartika Herawati Lebangdr.sartikalebang@gmail.comMoh. Andika Surya Lebangandika_lebang@yahoo.comDiki Zukriadidiki@puterabatam.ac.id<p>Dalam profesi kedokteran hal ini bukanlah hal yang baru, namun informed<br />consent merupakan perangkat hukum kedokteran yang sangat rumit untuk<br />dipahami, diterapkan, dan menjadi bukti pemahaman asisten pasien.<br />Penghormatan terhadap hak asasi manusia di bidang kedokteran, atau hak-hak<br />pasien, ditetapkan sebagai salah satu kewajiban etis yang harus dipatuhi oleh<br />setiap anggota profesi kedokteran. Dalam rumusan Kode Etik Kedokteran<br />Internasional yang diadopsi oleh Majelis Umum Organisasi Kedokteran Dunia<br />(World Medical Assembly) pada tahun 1949. Sejalan dengan perkembangan<br />reformasi dalam kehidupan bermasyarakat, informed consent yang semula lebih<br />terkait dengan kewajiban etik, berkembang menjadi kewajiban administratif dan<br />bahkan kewajiban hukum. Informed consent dalam profesi kedokteran adalah<br />persetujuan pasien terhadap tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya.<br />Persetujuan diberikan setelah pasien menerima penjelasan secara lengkap dan<br />obyektif mengenai diagnosis penyakit, upaya penyembuhan, tujuan dan pilihan<br />tindakan yang akan dilakukan. Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit,<br />terutama yang berhubungan langsung dengan pasien adalah dokter, perawat dan<br />tenaga kesehatan lainnya. Dalam hal tindakan medis, yaitu tindakan<br />diagnostik/terapeutik (penentuan jenis penyakit/penyembuhan) yang dilakukan<br />terhadap pasien, dokter akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi<br />tugas dan kewajibannya untuk memberikan pelayanan kuratif kepada pasien atas<br />dasar pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang dimilikinya.</p>2023-10-20T00:00:00+00:00Copyright (c) 2023