1. Pagi di Dermaga

Udara asin menempel di kulit ketika perahu-perahu kayu menepikan haluan. Di antara gulungan jaring dan ember tangkapan yang belum ditimbang, seorang nelayan bernama Arif duduk di bibir dermaga, meneguk kopi dari gelas plastik yang masih hangat. Laut Jawa baru saja ia taklukkan semalam suntuk, namun matanya belum siap terpejam. Ia menyalakan ponsel yang disimpan dalam plastik bening—kebiasaan agar tetap kering—sebuah ritual kecil setelah kerja panjang. Pagi itu, kabar yang biasanya hanya berputar di seputar harga solar, pasang-surut, dan kabut, berubah jadi cerita yang kelak bergaung dari warung ke warung: kemenangan Rp230.000.000 yang datang tak disangka.

Arif bukan sosok yang dikejar gembar-gembor. Ia lebih senang memosisikan diri sebagai pendengar—mencatat arah angin dan memori kecil yang sering luput. Dari obrolan di warung kapal hingga seloroh anak muda di pos ronda, ia mendengar tentang Mahjong Ways 2 di PETANITOTO, juga tentang pola yang disebut-sebut ‘scatter hitam’. Bukan ilmu pasti, pikirnya, melainkan semacam takhayul digital yang menyerupai kebiasaan nelayan menepuk geladak tiga kali sebelum berangkat. Malam itu, saat ombak ramah dan hasil tangkapan cukup, Arif mengizinkan dirinya rehat sejenak. Ia menyiapkan modal kecil, sekadar mengisi waktu sambil menunggu jaring kering, dan memilih bermain singkat, seperti menarik satu tarikan napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.

2. Scatter Hitam Muncul

Arif mengingat satu hal dari cerita-cerita yang berseliweran: “pola scatter hitam + turbo stop”. Di matanya, istilah itu bukan rencana untuk mengalahkan mesin, melainkan ritme—sebuah cara menjaga fokus agar tak berlarut-larut di layar. Jika ikon-ikon gelap itu muncul, ia hendak menekan turbo stop, bukan untuk memaksa hasil, tapi untuk memutus tegangnya menunggu. Langkah kecil yang baginya mirip menepuk bahu sendiri: cukup, jangan lama-lama. Layar menampilkan warna-warna yang bertubrukan dengan pantulan air asin di sekitarnya, sementara ia menjaga napas tetap tenang seperti saat membaca rasi bintang sebelum menentukan haluan.

Tak sampai setengah jam, barisan simbol yang sering disebut scatter itu berputar dengan ritme yang membuat jantungnya mengetuk lebih kencang dari biasanya. Ia melakukan turbo stop, dan beberapa putaran berikutnya berbuah putaran gratis yang mengalun seperti angin darat mengusir kabut. Arif tidak menghitung dengan cermat setiap perubahan angka; ia hanya mengingat momen ketika saldo di layar melonjak, lalu terhenti pada satu angka bulat yang menyalakan sorak spontan dari dua kawan di dermaga: Rp230.000.000, terbaca jelas pada 05:12 WIB. Arif menelan ludah, setengah tak percaya. Ia menatap layar, lalu menatap laut—dua permukaan yang sama-sama memantulkan nasib, kadang tenang, kadang bergelombang. Dalam hati, ia berbisik bahwa ini keberuntungan, bukan kepastian. Dan layaknya nelayan, ia tahu kapan harus menambatkan perahu: menutup aplikasi, menenangkan diri, lalu berterima kasih pada pagi yang pelan-pelan memudar.

3. Dari Layar ke Laut

Kabar itu menyebar lebih cepat dari angin pesisir. Di warung ujung dermaga, ada yang mengangkat alis, ada yang menyunggingkan senyum. Arif tetap duduk tenang, menyalakan rokoknya setengah, lalu memadamkannya lagi—kebiasaan lama yang muncul ketika pikirannya sibuk merangkai rencana. Bagi Arif, menang besar bukan undangan untuk berpesta, melainkan kesempatan untuk menata. Ia memikirkan mesin perahunya yang belakangan sering mendengus, jaring yang perlu dijahit ulang, serta tabungan sekolah anaknya yang menanti kepastian. Di kepalanya, istilah “pola scatter hitam + turbo stop” berubah menjadi metafora: hitam adalah batas, turbo adalah rem. Di laut, ia diajari menahan diri; di layar, ia memilih melakukan hal yang sama. Yang baru adalah angka di saldo; yang tetap adalah caranya memandang dunia—bahwa rezeki sejati menuntut disiplin dan tanggung jawab.