1. Warung, Hujan, dan Ponsel yang Bergetar

Malam itu hujan menekan atap seng warung pecel lele milik Roni, menimbulkan suara yang berbaur dengan desis minyak panas. Jam di dinding menunjukkan pukul 22:41 WIB, dan arus pelanggan sudah menipis. Roni merapikan baki sambal, menutup bakul nasi, sambil menatap jalanan yang basah berkilat. Di sela-sela menunggu pesanan terakhir, ia membuka aplikasi di ponselnya: PETANITOTO. Ritual kecil untuk membunuh sepi, katanya, tetapi malam itu ada sesuatu yang berbeda.

Roni—yang sehari-hari akrab dengan tumpukan bawang dan kepulan asap bakaran—bukan tipe yang meledak-ledak. Ketika layar memperlihatkan ikon Mahjong Ways 2, ia menarik napas. Ia ingat percakapan dengan pelanggan langganan, seorang sopir pick-up, yang seminggu sebelumnya bercerita tentang 'pola delay 4 detik + turbo stop' yang disebut-sebut sedang gacor, apalagi kalau bisa memancing scatter hitam. Roni tidak menelan mentah-mentah omongan itu. Ia mencoba menuliskan polanya di kertas bekas struk belanja ayam: empat detik tahan, lalu turbo stop, ulangi seperlunya, jaga ritme. Malam itu, ia memutuskan menjajal pola itu dengan modal Rp150.000—angka yang ia sisihkan dari uang kembalian belanja bumbu.

2. Delay 4 Detik, Turbo Stop, dan Detik yang Menggantung

Roni memulai dengan tenang. Satu putaran dibiarkan bernafas empat detik. Ia menatap ikon-ikon ubin yang bergulir, menunggu momentum, lalu menekan turbo stop seketika. Putaran pertama lewat, kedua lewat. Suara hujan seperti metronom yang mengiringi ritme jarinya. Pada putaran ketujuh, ia sempat ragu: saldo turun sedikit. Tapi ia kembali ke pola: empat detik, satu ketukan, berhenti. Lalu di putaran kedelapan, layar memberi kejutan: satu scatter hitam muncul. Tidak langsung meledak, tapi seperti menyalakan lampu kecil di ujung lorong.

Ia tidak mempercepat, justru menahan pola. Empat detik lagi. Turbo stop. Scatter hitam kedua menyusul. Roni menggigit bibir, kedua tangannya mulai hangat, namun cengkeramannya tetap stabil. Putaran kesepuluh menjadi titik balik: scatter hitam ketiga muncul, disusul kilau animasi yang lebih cerah. Roni melirik jam: 22:41 WIB. Ia tersenyum kecil. 'Jangan buru-buru, Ron,' batinnya. Pola tetap sama, detik tetap dijaga. Putaran berikutnya seperti menari mengikuti aba-aba jarinya; turbo stop disinkronkan dengan jeda empat detik itu. Ketika scatter hitam keempat melintas dan suara kemenangan menyalak, warung yang semula sunyi seketika terasa penuh oleh detak jantungnya. Ia tahu, ini bukan malam biasa.

Frekuensi kemenangan kecil-kecil mulai datang beruntun, seolah sistem merespons ritme yang ia bangun. Ia menurunkan bet ketika ritme terasa 'seret' dan menambahkannya satu tingkat kecil saat simbol-simbol premium mulai sering berdampingan—tetap dalam batas yang ia tentukan dari awal. Pada momen ketika layar memasuki fitur khusus, Roni sempat menutup mata satu detik, menstabilkan napas. Lalu ia melanjutkannya dengan ketukan yang sama: delay empat detik, turbo stop sekali, lalu membiarkan dua putaran berjalan penuh tanpa intervensi—kebiasaan kecil yang ia catat dari obrolan pelanggan minggu lalu.

3. Rp320 Juta dan Air Mata di Ujung Malam

Hingga akhirnya, angka-angka bergerak seperti arus deras. Kombinasi ikon meledak berlapis, pengali naik, dan suara notifikasi kemenangan menjadi semacam musik latar yang tak pernah Roni bayangkan akan ia dengar di warung kecilnya. Saat total kemenangan kumulatif menyentuh Rp320.000.000, Roni terdiam, seolah tubuhnya tertinggal selangkah di belakang layar. Ia menoleh ke wajan, memadamkan kompor yang menyisakan bara, lalu menatap ponsel lagi. Angka itu tidak bergeming. Ujung matanya panas. Ia menutup mulut dengan tangan, menahan serak yang naik ke tenggorokan.

Roni lantas memotret layar—bukan untuk pamer—melainkan untuk mengingat malam hujan, aroma sambal, dan detik yang ia jaga dengan sabar. Ia menarik kursi plastik, duduk, dan mengangkat wajahnya pada atap seng yang kini tetesannya mulai jarang. Pikirannya melayang pada utang kulakan pakan lele yang masih tersisa, biaya sekolah anak sulungnya, dan mimpi membeli freezer baru agar es batu tidak lagi cepat mencair. Dalam diarinya—yang nanti ia tulis subuh—ia menyebut tiga hal: disiplin pada pola, tahu kapan berhenti, dan jangan melampaui batas yang sudah dihitung sejak awal. Malam itu, ia menyimpan ponsel, menutup warung, dan pulang dengan genggaman yang tidak lagi dingin.